Senin, 18 Juli 2011

Hutang Piutang


1.Definisi Hutang Piutang
Kata hutang dalam kamus bahasa Indonesia terdiri atas dua suku kata yaitu “hutang” yang mempunyai arti uang yang dipinjamkan dari orang lain[1]. Sedangkan kata “piutang” mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).[2]
            Menurut ahli fiqih hutang atau pinjaman adalah transaksi antara dua pihak, dimana yang satu menyerahkan uangnya kepada yang lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya oleh pihak kedua dengan hal yang serupa. Atau seseorang menyerahkan uang kepada pihak lain untuk dimanfaatkan dan kemudian dikembalikan lagi sejumlah yang dihutang.[3]
            Adapun pengertian yang lainnya yaitu hutang piutang berarti memberikan sesuatu (uang atau barang) kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar dengan jumlah yang sama dengan yang diberikan tersebut.[4] Misalnya,
jika  peminjam diberi pinjaman uang sebesar   Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah Rp 1.000.000 juga. (jangka waktunya sesuai dengan kesepakatan pihak peminjam dengan pihak yang meminjamkan).
            Sementara pengertian hutang piutang sama dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam ketentuan kitab Undang-Undang hukum perdata pasal 1754 yang berbunyi : “pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.”[5]


2. Hukum Hutang Piutang dalam Islam
Sebagian orang mengatakan, bahwa pensyari’atan hutang piutang adalah perkara yang menyalahi ketentuan syariat apabila ditinjau dari segi akal. Sebab hutang piutang memiliki kesamaan bahkan termasuk bagian dari barter barang ribawi dengan tidak kontan. Yang dimaksud dengan barang ribawi di sini adalah barang yang berlaku padanya hukum  riba’ yang disepakati ada enam macam, yakni: Emas, perak, dua jenis gandum (burr dan sya’ir), korma serta garam.
Namun pendapat seperti itu sangat jauh dari kebenaran karena hutang piutang termasuk jenis perbuatan sukarela dalam memberikan manfaat, seperti halnya pinjam meminjam barang atau perabot rumah tangga. Oleh karena itu rasulullah menamakannya dengan Al Manihah yakni memberikan sesuatu pada orang lain untuk diambil manfaatnya, lalu pokoknya dikembalikan.
Hukum hutang piutang sangat fleksibel sesuai dengan situasi, kondisi serta toleransi.  Karena itulah terdapat beberapa hukum dalam melakukan kegiatan hutang piutang yaitu:                   
  1. Hutang piutang hukumnya sunah ; pada umumnya hutang piutang hukumnya sunah yakni apabila dalam keadaan biasa atau normal
  2. Hutang piutang hukumnya wajib ; yaitu apabila diberikan kepada orang yang benar – benar membutuhkan. Misalnya meminjamkan uang kepada tetangga yang sedang kesusahan dan membutuhkan pinjaman uang untuk berobat. Perihal membutuhkan tersebut  tidak dapat dipungkiri mengingat manusia sebagai makhluk sosial pasti saling membutuhkan pertolongan satu sama lainnya.
  3. Hutang piutang hukumnya haram ; yakni apabila memberi hutang untuk hal – hal yang menyimpang dari ajaran islam. Misalnya untuk berjudi, membeli minuman keras, narkoba dan sebagainya.
  4. Hutang piutang hukumnya makruh; yakni menurut pandangan sebagian ulama memakruhkan hutang piutang yakni berkaitan dengan As-Saftajjah.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam utang-piutang, kedua belah pihak perlu memerhatikan hal-hal berikut:
1.       Orang yang berhutang wajib mengembalikan hutangnya kepada orang yang meminjami hutang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati pihak – pihak terkait. Jika pengutang telah mampu mengembalikan hutangnya sebelum waktu perjanjiannya berakhir, sebaiknya ia segera mngembalikannya. Cara seperti ini dapat menambah kepercayaan pemberi hutang kepada pemerima hutang.
2.      Apabila orang yang berhutang telah berusaha dengan sungguh-sungguh tetapi belum bisa mengembalikan hutangnya, pemberi hutang sebaiknya memberi kelonggaran. Hal ini sesuai dengan tujuan semula, yaitu menolong pihak yang kurang mampu. Apabila keadaan yang berhutang memprihatinkan, akan lebih mulia jika pemberi hutang membebaskannya.
 Walaupun Islam tidak melarang adanya hutang-piutang, tetapi kita harus berhati-hati agar jangan sampai hutang tersebut menyengsarakan diri sendiri. Jika tidak menyangkut urusan emergency, sebaiknya kita tidak berhutang  agar tidak terjerat hutang,


3.      Tujuan Hutang Piutang
Seseorang apabila meminjam uang atau barang, maka maksudnya adalah mengambil manfaat dari barang tersebut lalu mengembalikan kepada pemiliknya tanpa perubahan kadar dari barang yang dipinjam tersebut.
Hutang piutang berbeda dengan jual beli karena tidak mungkin seorang yang berakal sehat mau menukar atau menjual benda miliknya dengan benda milik orang lain yang sama jenis dan kadarnya dengan cara yang tidak kontan. Terkecuali bila kadar dan sifat bendanya yang berbeda seperti penukaran mata uang asing atau money exchange.
Namun terkadang pemberian hutang justru demi kemaslahatan si pemberi hutang. Seperti yang terjadi pada masalah As-Saftajjah[6] (surat tanda bukti hutang). Saftajjah disini berarti kebiasaan yang terjadi pada zaman dahulu, dimana apabila seseorang ingin melakukan perjalanan jauh , maka ia meminjamkan uang atau hartanya  pada salah seorang saudagar yang memiliki harta di tempat yang ia tuju. Lalu saudagar tersebut memberikan kepadanya  surat tanda bukti hutang yang biasa disebut sebagai As-Saftajjah agar setelah orang meminjamkan uang atau hartanya sampai ke tempat yang ia tuju, maka ia dapat mengambil uangnya kembali dengan memperlihatkan surat bukti tersebut. Adapun maksud dari perbuatan itu adalah untuk menjaga keamanan uang atau harta dari hal – hal yang tidak diinginkan selama perjalanan.


4.      Adab dan rukun melakukan kegiatan hutang piutang
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, namun demikian haruslah berhati – hati karena perkara hutang piutang dapat membawa kemaslahatan dan dapat pula membawa bencana.
Islam memuji pedagang yang menjual barang kepada orang yang tidak mampu membayar tunai, lalu memberi tempo, membolehkan pembelinya berutang. Islam menjanjikan pedagang itu berpotensi masuk surga, sebagaimana hadits Rasulullah saw: “Bahwasanya ada seseorang yang meninggal dunia lalu dia masuk surga, dan ditanyakanlah kepadanya, ‘amal apakah yang dahulu kamu kerjakan?’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya dahulu saya berjualan. Saya memberi tempo (berutang) kepada orang yang dalam kesulitan, dan saya memaafkan terhadap mata uang atau uang.” (HR. Muslim)
Menurut ulama pensyarah hadits, kata-kata “memaafkan terhadap mata uang atau uang” di situ adalah, bahwa yang bersangkutan memberikan kemurahan kepada pengutang dalam membayar hutangnya. Bila terdapat sedikit kekurangan pembayaran dari yang semestinya, kekurangan itu di abaikan dengan hati lapang.

Keutamaan/fadhilah bagi pemberi hutang:
  • Siapa yang memberi pinjaman atas kesusahan orang lain, maka dia ditempatkan di bawah naungan singgasana Allah pada hari kiamat. (HR. Thabrani, Ibnu Majah, Baihaqi)
  • Barangsiapa meminjamkan (harta) kepada orang lain, maka pahala shadaqah akan terus mengalir kepadanya setiap hari dengan jumlah sebanyak yang dipinjamkan, sampai pinjaman tersebut dikembalikan. (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah). Contohnya, si Fulan meminjam uang sebesar Rp. 1.000 kepada Fulanah. Fulanah akan mengembalikan uang tersebut dalam tempo 10 hari. Maka selama sepuluh hari itu si Fulan mendapatkan pahala shadaqah Rp. 1.000 setiap harinya.
  • Dua kali memberikan pinjaman, sama derajatnya dengan sekali bershadaqah. (HR. Bukhari, Muslim, Thabrani, Baihaqi).


Menghindari Hutang.
Sebaliknya, Islam menyuruh pembeli menghindari utang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai. Karena utang, menurut Rasulullah SAW, penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Utang juga dapat membahayakan akhlaq, kata Rasulullah, “Sesungguhnya seseorang apabila berutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah pernah menolak menshalatkan jenazah sesorang yang diketahui masih meninggalkan utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Sabda Rasulullah, “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali utangnya.” (HR. Muslim).
Bagaimana Islam mengatur berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka ? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

Adab Umum
  • Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan. Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan maksiat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Hakim)
  • Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih pembayaran dan pinjaman dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta, kembalinya pun sejuta, tidak boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran, berubah hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur Razak).
  • Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu) pembayarannya. (HR. Ahmad, Nasa’i).
Adab untuk pemberi hutang
  • Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad).
  • Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan. (HR. Ahmad)
  • Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
  • Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi terlebih dahulu diberi nasihat agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim).


Adab bagi pengutang
  • Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar utang (tidak menunda-nunda). (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi).
  • Yang berutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk membayar. (HR. Bukhari, Muslim)
  • Menunda-nunda utang padahal mampu adalah kezaliman. (HR. Thabrani, Abu Dawud).
  • Barangsiapa menunda-nunda pembayaran utang, padahal ia mampu membayarnya, maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR. Baihaqi).
  • Bagi yang memiliki utang dan ia belum mampu membayarnya, dianjurkan banyak-banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari utang, serta banyak-banyak membaca surat Ali Imran ayat 26. (HR. Baihaqi)
  • Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setelah dapat membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad).
Bila ada orang yang masuk surga karena piutang, kelak akan ada juga orang yang kehabisan amal baik dan akan masuk neraka karena lalai membayar utang. Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa (yang berutang) di dalam hatinya tidak ada niat untuk membayar utangnya, maka pahala kebaikannya akan dialihkan kepada yang memberi piutang. Jika masih belum terpenuhi, maka dosa-dosa yang memberi utang akan dialihkan kepada orang yang berutang.” (HR. Baihaqi, Thabrani, Hakim).[7]



Kewajiban Orang yang Berhutang-Piutang
Orang yang melakukan utang-piutang hendakya melakukan persetujuan Utang-piutang secara tertulis. Persetujuan tersebut disertai tanda terima atau kwitansi yang menyebutkan besarnya utang, tanggal terjadinya utang-piutang, mauun tanggal pengembaliannya. Allah berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang dtentukan maka hendaklah kamu menulisnya….” (Q.S. Al-Baqarah: 282)
Kewajiban orang berutang-piutang selain hal diatas, adalah menghadirkan saksi. Saksi sebaiknya terdiri atas 2 orang laki-laki. Apabila tidak ada 2 orang laki-laki, maka boleh satu orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Allah berfirman yang artinya:
“…. Dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi laki-laki (diantaramu), jika tidak ada 2 orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan 2 orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu rida’I, agar jika yang seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya….” (Q.S. Al-Baqarah: 282)

Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang ada yaitu :
- Ada debitur                                                                                                                                                           Debitur adalah pihak yang berhutang (peminjam atau piutang ) kepada pihak lain yang dijanjikan untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang.
- Ada yang memberi hutang / kreditur                                                                                                      Kreditur yaitu pihak lain yang menghutangi dan berkewajiban untuk di kemudian hari membayarnya kepada debitur.
- Ada ijab qabul / qobul                                                                                                                           Ijab atau qobul adalah pernyataan ucapan kesepakatan antara pihak debitur dengan pihak kreditur yang bahwa disepakati suatu perjanjian hutang piutang.
- Ada barang atau uang yang akan dihutangkan                                                                                        yaitu apa – apa yang dipinjamkan kepada si peminjam (objek dari aktifitas hutang piutang itu sendiri). Misalnya uang sebesar satu juta rupiah. Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl. Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang berarti bukan hutang uang.[8]


5.      Hubungan antara hutang piutang dengan riba
Riba berarti menetapkan bunga melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-quran surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. Bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. Jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah (ratio) bagi hasil bagi deposannya. Dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. Berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
Jenis-Jenis Riba                                                                                                                                 Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
  • Riba Qardh
    • Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
  • Riba Jahiliyyah
    • Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
  • Riba Fadhl
    • Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
  • Riba Nasi’ah
    • Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Terdapat banyak sekali pendapat para ulama mengenai hutang piutang. Dimana pada dasarnya ulama tersebut tidak membenarkan adanya tambahan dari pokok yang telah dipinjamkan. Karena hutang piutang adalah bertujuan untuk kebaikan dan tolong menolong sehingga apabila di dalamnya terdapat niat untuk mengambil keuntungan maka sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi-, ”jika bentuk utang piutang yang di dalamnya terdapat keuntungan, itu sama saja dengan menukar dirham dengan dirham atau rupiah dengan rupiah kemudian keuntungannya ditunda.”[9]

KESIMPULAN
Hutang piutang merupakan salah satu kegiatan muamalat yang berarti meminjamkan benda atau uang untuk diambil manfaatnya oleh peminjam dan kemudian dikembalikan esok hari tanpa ada unsur melebihkan nilai dari pokok yang dipinjam.
Hukum dalam hutang piutang sangat fleksibel sesuai dengan keadaan serta maksud berhutang dan mempiutang. Pada umumnya hukum hutang piutang adalah sunah, namun bisa menjadi haram apabila mempunyai maksud yang menyimpang dari ajaran islam.
Hutang piutang bertujuan untuk kemaslahatan, bukan mencari keuntungan. Sehingga apabila pada saat pengembalian pinjaman ternyata kembalinya terjadi penambahan nilai atau jumlah, maka itu dikategorikan sebagai riba nasi’ah dan hukumnya adalah haram. Hutang piutang tersebut menjadi riba karena terdapat praktik sebagai berikut:
·         Piutang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), sementara tujuan dari piutang itu sendiri adalah tolong – menolong (berarti transaksi dianggap sudah menyimpang dari tujuan sebenarnya).
·         Terdapat niat untuk memperoleh harta melalui jalan yang tidak dibenarkan  (terkait dengan adanya unsur suka sama suka antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam dalam hal melebihkan pengembalian dari pinjaman pokok tersebut)
·         Mensyaratkan adanya tambahan.



           

DARTAR PUSTAKA

    1. Taimiyah,Ibn  & Ibn Qayim, Hukum Islam dalam Timbangan Akal dan Hikmah, Jakarta: Pustaka Azzam,2001
    2.  



[1]. Poerowadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, halaman 1136
[2] . ibid, halaman 760
[3] . Abu Sura’I Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam, halaman 125
[4] .  Chairuman Pasaribu dan Suharwadi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, halaman.136
[5] . R. Subekti dan R. Tjirosudibjo, Kitab Undang – undang Perdata, hal 451

[6] Ibn Taimiayah & Ibn Qayim, Hukum islam dalam timbangan akal dan hikmah, halaman 30
[7] Dasar – dasar hokum islam
[8] Wikipwdia riba yg ad ttg romawi n yunaninya
[9] Fiqh wa Fatawa Al Buyu, 10